Rabu, 01 Mei 2013

Permasalahan Pertanian Organik



Permasalahan Pertanian Organik di Indonesia

Berdasarkan perkembangan pertanian organik periode tahun 2001 hingga 2006, ditemui beberapa permasalahan yang terkait dengan budidaya, sarana produksi, pengolahan hasil, pemasaran, sumber daya manusia, kelembagaan dan regulasi.

a. Budidaya
Permasalahan yang berkaitan dengan budidaya pertanian organik antara lain :
1.    Luas lahan yang menerapkan sistem pertanian organik relatif kecil dan terletak di sekitar lahan budidaya non organik (konvensional).

Lahan yang digunakan untuk budidaya pertanian organik secara umum relatif kecil dibandingkan dengan lahan yang digunakan untuk budidaya pertanian non organik (konvensional). Hal ini terkait dengan kepemilikan lahan petani yang kecil sehingga ketika petani tersebut merubah sistem budidayanya menjadi pertanian organik,  luas lahan yang digarap atau diusahakan hanya seluas lahan yang dimilikinya.

Demikian halnya dengan lahan yang diusahakan oleh kelompok tani organik, luasannya masih kecil karena tidak semua anggota dalam kelompok tani tersebut merubah budidaya pertaniannya dari konvensional ke organik.

Kecilnya lahan yang diusahakan, juga terbentur pada lokasi lahan yang berada di sekitar lokasi atau di tengah lokasi budidaya pertanian konvensional. Posisi lokasi seperti ini menimbulkan beberapa kerawanan dalam menjalankan budidaya pertanian organik dan menjaga status organik lahan, air serta produk yang dihasilkan. Besar kemungkinkan, lahan yang diusahakan secara organik terkena pencemaran pestisida kimia, pupuk kimia dan cemaran bahan kimia lainnya dari pertanian konvensional melalui air dan udara.

Perkebunan Hortikultura_dok.Rul
2.    Sumber air yang ada sudah tercemar pupuk, pestisida dan bahan kimia lainnya.

Sumberdaya air sangat berperan dalam menunjang keberhasilan usaha pertanian, tidak terkecuali pertanian organik. Budidaya pertanian organik memiliki kekhasan yaitu dengan dipersyaratkannya minimal cemaran dari bahan-bahan kimia sintetis yang berasal dari lingkungan sekitar.

Berkaitan dengan sumber daya air, saat ini kondisi sumber air di sentra-sentra pertanian telah tercemar bahan kimia sintetis seperti pupuk dan pestisida kimia. Kondisi ini menjadi masalah bagi petani organik, karena untuk mendapatkan air yang bebas atau minimal bahan pencemar harus dilakukan dengan cara:

  1. mencari sumber air alternatif seperti sumur bor;
  2. membuat saluran air dari bagian hulu sungai;
  3. mengolah air terlebih dahulu dengan cara mengendapkan atau memberi perlakuan agar dihasilkan air yang sudah tidak tercemar.

Usaha-usaha untuk mendapatkan air yang sesuai dengan syarat pertanian organik memerlukan biaya, sehingga menyebabkan biaya produksi pertanian organik meningkat.

3.    Kawasan lahan budidaya berada jauh dari akses transportasi.

Salah satu lokasi yang sesuai untuk budidaya pertanian organik adalah di daerah yang masih minim pencemaran lingkungannya. Lokasi seperti ini biasanya berada jauh dari akses transportasi. Padahal transportasi merupakan salah satu sarana untuk mendistribusikan sarana pertanian dan membawa hasil pertanian organik.

Minimnya akses transportasi pada lokasi-lokasi yang memenuhi syarat untuk budidaya pertanian organik (karena minim pencemaran lingkungan) menimbulkan beberapa implikasi lanjutan antara lain : (a). sulitnya mendistribusikan bahan input atau sarana produksi pertanian seperti pupuk dan pestisida organik, benih, dan peralatan kerja; (b). sulitnya membawa hasil/produk pertanian organik dari lahan ke pasar; (c). mahalnya biaya untuk transportasi dari dan ke lokasi budidaya pertanian organik.

4.    Benih Organik belum cukup tersedia

Minimnya benih organik disebabkan karena institusi penghasil benih (kelompok tani atau perusahaan benih) belum memproduksi benih organik. Oleh karena itu benih yang digunakan oleh petani organik, saat ini pada umumnya masih berupa benih konvensional. 

5.    Tidak semua varietas adaptif terhadap budidaya pertanian organic

Pola budidaya pertanian organik lebih mengutamakan daya adaptif tanaman/varietas terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Beberapa varietas tidak cukup adaptif terhadap pola budidaya dan kondisi lingkungan yang tercipta oleh sistem ini. Hal ini dikarenakan varietas tersebut telah dikondisikan untuk adaptif pada pupuk kimia, pestisida kimia dan perlakuan budidaya lainnya secara konvensional.

6.    Sulit mencari petakan lahan untuk budidaya.
Tidak semua lokasi memenuhi syarat untuk dijadikan lokasi pertanian organik, karena ketidaksesuaian kondisi lingkungan mikro dan makro. Kondisi lingkungan tersebut meliputi: kualitas air, konversi lahan, lingkungan sekitar lokasi budidaya.

7.     Serangan hama/penyakit tanaman
Keberhasilan usaha pertanian organik juga terkait dengan faktor nutrisi tanaman dan gangguan/serangan hama dan penyakit tanaman. Kondisi yang terjadi saat ini, faktor nutrisi tanaman telah dapat diatasi dengan baikdengan dihasilkannya beragam nutrisi tanaman yang berstatus organik. Lain halnya dengan bahan untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman masih sedikit dan terbatas pada jenis hama dan penyakit tertentu. Kondisi ini menyebabkan masih tingginya serangan hama dan penyakit tanaman yang belum bisa diatasi oleh pelaku pertanian organik.

8. Penyakit hewan 

Penyakit hewan saat ini meningkat kejadiannya dan jenis penyebabnya. Penyakit hewan ini juga menginfeksi ternak yang dibudidayakan secara organik. Diperlukan jenis obat dan vitamin yang memenuhi kriteria organik untuk menjaga kesehatan dan mengobati penyakit hewan. Saat ini jenis obat dan vitamin hewan tersebut belum tersedia secara luas.

9. Adaptasi dan Perawatan
Ternak besar memerlukan adaptasi yang relatif lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan pola budidaya ternak organik. Adaptasi ini diperlukan untuk menyesuaikan jenis pangan, vitamin, obat dan sistem perawatan dalam peternakan organik. Ternak tersebut juga memerlukan perawatan yang intens sebagai budidaya secara organik.

b. Sarana Produksi 
Permasalahan yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian organik antara lain :
a)    Belum tersedia secara merata pupuk kompos/pupuk organik.
b)    Pupuk organik digunakan pada pertanian organik untuk memperkaya hara dalam tanah dan menyehatkan tanaman. Pupuk organik dapat berupa pupuk padat (kompos) atau pupuk cair yang digunakan untuk daun atau buah. Sebaran usaha pertanian organik yang luas belum ditunjang oleh produksi dan distribusi pupuk organik.
c)    Belum banyak tersedia pestisida organik untuk hama/penyakit tanaman
d)    Sama halnya dengan pupuk organik, penyediaan pestisida organik juga mengalami kendala dalam hal produksi, jenis hama dan penyakit tanaman yang dapat dikendalikan, serta distribusinya ke masyarakat/petani organik.
e)    Belum banyak obat hewan organik.
f)     Obat hewan dengan status obat hewan organik belum banyak tersedia dipasaran, hal ini akan menyulitkan peternak organik untuk merawat dan meningkatkan kesehatan ternaknya.
g)    Perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang bebas dari bahan agrokimia sintetis
h)   Harga sarana produksi organik relatif lebih mahal dan tingkat ketersediaannya di pasar terbatas
i)     Teknologi penyediaan sarana produksi organik belum tersedia dengan mudah di tingkat lapangan/petani.

c. Pengolahan
Permasalahan yang berkaitan dengan pengolahan pangan organik antara lain :
1)    Peralatan masih digunakan bersama untuk mengolah pangan organik dan non organik. Hal ini karena petani/peternak tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan peralatan yang khusus digunakan untuk pengolahan pangan organik.
2)    Belum banyak produk pangan organik olahan. Saat ini dipasaran lebih banyak dijumpai pangan organik segar. Masih sedikit pangan organik yang telah diolah, sehingga konsumen masih memiliki keterbatasan untuk mengkonsumsi/memilih produk pangan olahan organik.
3)    Belum banyak informasi mengenai pengolahan pangan organik. Informasi mengenai pengolahan pangan organik belum banyak dihasilkan dan disosialisasikan.
4)    Minimnya ketersediaan bahan pembantu (pemanis, pewarna, pengawet) dalam pengolahan pangan organik.  Pengolahan pangan organik memerlukan bahan tambahan pangan berupa pemanis, pewarna atau pengawet. Dalam hal pangan organik maka diperlukan bahan-bahan tersebut yang berkategori boleh digunakan untuk pengolahan pangan organik. Saat ini ketersediaan bahan tambahan pangan tersebut dipasaran masih sangat terbatas.
5)     Keterbatasan bahan kemasan yang memenuhi syarat untuk pangan organik. Pangan yang telah diolah perlu dikemas dalam kemasan yang dapat menjaga kualitas pangan. Kemasan yang masuk dalam kategori kemasan organik masih sedikit tersedia dipasaran.

d. Pemasaran
Permasalahan yang berkaitan dengan pemasaran pangan organik antara lain:
1)    Minimnya pengetahuan teknis dan jalur-jalur pemasaran yang dikuasai oleh pelaku pengusaha organik
2)    Jalur-jalur pemasaran pangan organik masih sedikit dan menganut pemasaran konvensional, sehingga berisiko untuk tercampur dengan pangan non organik.
3)    Mahalnya biaya transportasi pangan organik. Lokasi yang jauh dan minimnya sarana transportasi menyebabkan biaya transportasi/distribusi pangan organik dari lahan ke pasar menjadi tinggi.
4)    Minimnya tempat yang khusus dan memenuhi syarat untuk menjual pangan organik.
5)    Produsen atau pemasar pangan organik belum seluruhnya menggunakan tempat yang dikhususkan untuk memasarkan pangan organik. Masih terdapat pangan organik yang dipasarkan bersama-sama dengan pangan an-organik.
6)    Tempat pemasaran produk organik masih sedikit. Pemasaran pangan organik masih terkonsentrasi di kawasan tertentu, belum menyebar secara merata di setiap wilayah konsumen.
7)    Mahalnya  listing fee untuk setiap produk yang akan dipasarkan di supermarket. 
8)    Produsen pangan organik umumnya petani atau kelompok tani yang tidak terlalu kuat secara finansial. Pemasaran menggunakan jaringan supermarket dapat meningkatkan volume penjualan, namun terkendala oleh biaya listing fee yang cukup tinggi dan sistem pembayaran dalam jangka waktu cukup lama di belakang.
9)    Kemasan kurang menarik. Pangan organik yang dipasarkan belum dikemas secara baik dan menarik, sehingga masih memunculkan kesan yang kurang menarik.
10) Produk lokal/dalam negeri bersaing dengan produk impor. Produk impor pangan organik mulai banyak diperdagangkan di Indonesia. Produk impor lebih banyak produk pangan organik olahan dan diperdagangkan di tempat-tempat (supermarket) berjaringan internasional.
11) Produk yang dipasarkan belum memiliki sertifikat organik
12) Belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik 
13)  Belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut

e. Sumberdaya Manusia
Permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya manusia untuk pengembangan  pertanian organik antara lain : Minimnya jumlah sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi dalam bidang pertanian organik, baik petugas pembina, peneliti dan inspektur pertanian organik maupun pelaku usaha/petani

f. Kelembagaan
Permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan pertanian organik meliputi :
1)    Kelembagaan sertifikasi . Lembaga sertifikasi pangan organik yang terakreditasi (2007) baru ada  1 perusahaan (instansi)  yaitu PT. Sucofindo. Minimnya lembaga sertifikasi ini menyebabkan masih mahalnya biaya sertifikasi.
2)    Kelembagaan di tingkat petani. Kelembagaan di tingkat petani masih lemah. Pertanian organik sebaiknya dikelola dalam bentuk kelompok tani untuk meningkatkan luasan area pertanian organik, kemudahan penyediaan sarana produksi dan pemasarannya.
3)    Kelembagaan di tingkat pusat. Kelembagaan di tingkat pusat belum bersinergi dengan baik untuk menghasilkan kebijakan dan implementasi program secara terencana dan terkoordinasi dengan baik.
4)    Kelembagaan di tingkat daerah. Di tingkat daerah, kelembagaan yang menangani pangan organik baik milik swasta maupun pemerintah belum banyak terbentuk, sehingga menyebabkan pengembangan pangan organik masih berjalan secara parsial.

g. Regulasi dan Pedoman 
Permasalahan yang berkaitan dengan regulasi pertanian organik antara lain :
1)    Regulasi masih bersifat umum.
2)    Regulasi pangan organik masih bersifat umum berupa SNI.
3)    Sistem Pangan Organik dan masih sedikit regulasi yang bersifat khusus yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertanian organik.
4)    Minimnya panduan/regulasi yang bersifat teknis dan praktis. Masih terbatas regulasi teknis dan praktis yang berkaitan dengan pertanian/pangan organik menyebabkan terjadinya perbedaan dalam aplikasi usaha pertanian/pangan organik.
5)    Belum tersebarnya/tersosialisasi regulasi dan pedoman yang telah ada secara luas dan merata.
Memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Orang semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Gaya hidup sehat dengan slogan Back to Nature telah menjadi trend baru meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian. Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik.
Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat pesat.
Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air dan tanah, serta budaya masyarakat yang menghormati alam, potensi pertanian organik sangat besar. Pasar produk pertanian organik dunia meningkat 20% per tahun, oleh karena itu pengembangan budidaya pertanian organik perlu diprioritaskan pada tanaman bernilai ekonomis tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
Peluang Pertanian Organik di Indonesia
Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000). Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun.
Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea.
Potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain: 1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik, 2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut.
Areal tanam pertanian organik, Australia dan Oceania mempunyai lahan terluas yaitu sekitar 7,7 juta ha. Eropa, Amerika Latin dan Amerika Utara masing-masing sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan 1,3 juta hektar. Areal tanam komoditas pertanian organik di Asia dan Afrika masih relatif rendah yaitu sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta hektar (Tabel 1). Sayuran, kopi dan teh mendominasi pasar Panduan Umum Pertanian Organik
July 29, 2008 in Informasi | Tags: obat pertanian, petani, produk pertanian, pupuk organik, suburi | 1 comment
Lahan
Pada dasarnya semua lahan dapat dikembangkan menjadi lahan PO.
Yang terbaik adalah lahan pertanian yang berasal dari praktek pertanian tradisional atau hutan alam yang tidak pernah mendapatkan asupan bahan-bahan agrokimia (pupuk dan pestisida).      
Namun, bila lahan yang digunakan berasal dari lahan bekas budidaya pertanian konvensional (menggunakan pupuk dan pestisida kimia), lebih dahulu perlu dilakukan konversi lahan. Konversi lahan adalah upaya yang bertujuan untuk meminimalkan kandungan sisa-sisa bahan kimia yang terdapat dalam tanah dan memulihkan unsur fauna dan mikroorganisme tanah. Lamanya konversi tergantung dari intensitas pemakaian input kimiawi dan jenis tanaman sebelumnya (sayuran, padi atau tanaman keras).      
Masa konversi dapat diperpanjang/diperpendek tergantung pada sejarah lahan tersebut.
Bila masa konversi telah lewat, lahan tersebut merupakan lahan organik. Bila kurang dari itu, maka lahan tersebut masih merupakan lahan konversi menuju organik.
Benih
Benih yang digunakan untuk budidaya PO adalah benih yang tidak mendapatkan perlakuan rekayasa genetika. Petani sebaiknya menggunakan benih lokal, atau benih hibrida yang telah beradaptasi dengan alam sekitar.
Keunggulan menggunakan benih lokal adalah mudah memperolehnya dan murah harganya, bahkan petani bisa membenihkan sendiri. Selain itu, benih lokal memiliki asal usul yang jelas dan sesuai dengan kondisi alam sekitar. Dengan memakai benih sendiri, petani juga tidak tergantung pada pihak luar.
Persiapan tanam   
Lahan yang digunakan untuk produksi PO sedapat mungkin dijaga kestabilannya tanpa harus mengacaukan, yaitu berpedoman pada metode sedikit olah tanah (minimum tillage).
Tanam
Prinsip yang diterapkan dalam praktek penanaman PO selalu mencerminkan adanya tumpangsari agar tercipta keanekaragaman tanaman (varietas). Perencanaan dan teknik penanaman perlu disesuaikan dengan sifat tanaman, prinsip-prinsip pergiliran tanaman dan kondisi cuaca setempat.
Pemeliharaan Tanaman  
Setiap tanaman memiliki sifat karakteristik tertentu, maka pemeliharaan tanaman ditentukan oleh sifat karakteristik tersebut. Dengan mengenali karakteristik tanaman petani dapat dengan mudah melakukan pemeliharaan yang sesuai, sehingga tujuan pemeliharaan tercapai yaitu “kebahagiaan tanaman itu sendiri”.
Pemupukan
Secara teori, lahan PO akan semakin subur karena proses-proses yang diterapkan berpedoman pada pemeliharaan tanah. Tetapi realitanya, petani seringkali kurang memahami hal ini sehingga tanah selalu lebih banyak kehilangan unsur hara —melalui erosi, penguapan, dsb— dibandingkan dengan hara yang diberikan/ditambahkan. Maka prinsip pemupukan ditentukan oleh kepekaan kita dalam mengamati/menilai kapan tanaman kekurangan makanan.
Pengendalian HPT/OPT  
PO berbasis pada keseimbangan ekosistem. Konsekuensinya semua organisme yang ada (termasuk hama) dipandang ikut berperan dalam proses keseimbangan tersebut. Dengan kata lain, tidak ada mahluk hidup yang tidak berguna. Yang diperlukan adalah mengendalikan hama/penyakit supaya tidak berada dalam jumlah berlebihan.  
Pola tumpangsari, pergiliran tanaman, pemulsaan, rekayasa teknik menanam, dan manajemen kebun menjadi pilihan metode pengendalian HPT karena sesuai dengan prinsip keseimbangan.     
Penggunaan pestisida alami diperlukan sejauh kita tahu bahwa di lahan PO sedang terjadi ketidakseimbangan, yang terlihat pada munculnya gangguan hama/penyakit. Kadar pemakaiannya juga tergantung dari tingkat gangguan yang ada.
Panen
Setiap langkah dalam proses produksi akan dinilai dari hasil panenan. Prinsip dalam panen adalah menjaga standar mutu dengan memanen tepat waktu sesuai kematangan. Cara pemanenan juga perlu berhati-hati sehingga tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan hasil yang lebih besar.
Pasca Panen          
Kegiatan pasca panen harus mampu menekan kerusakan hasil seminimal mungkin. Metode pengolahan yang dilakukan tidak boleh mengubah sama sekali komposisi bahan aslinya. Karenanya proses seleksi, pencucian, pengepakan, penyimpanan dan pengangkutan produk organik perlu berhati-hati agar kondisi tetap segar dan sehat ketika berada di tangan pembeli. Dalam PO, kegiatan pasca panen menghindari pemakaian bahan pengawet atau perlakuan kimiawi lainnya dan seminimal mungkin melakukan proses pengolahan.
Dalam PO berlaku standar yang berfungsi sebagai pedoman bagi petani dan pelaku lain dalam menjalankan usahanya di bidang ini. Standar ini berisi prinsip-prinsip mendasar PO dan hal-hal umum yang sebaiknya dilakukan dan dihindari dalam bertani organik. Sebagai contoh, pemerintah telah menerbitkan SNI (Standar Nasional Indonesia ) 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik yang dapat menjadi acuan bagi para pelaku terkait pengembangan PO. Standar ini mengacu pada standar internasional yakni Codex CAC/GL 32/1999, dan cukup selaras dengan standar dasar IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement). BIOCert sendiri tengah mengembangkan standar PO yang selaras dengan pedoman di atas dan sesuai dengan visi dan misi BIOCert.
Alam mengajari kebajikan bagi umat manusia. Alam merupakan suatu kesatuan, terdiri dari banyak bagian, seperti organisme dengan organ-organnya. Semua bagian berjalan dalam harmoni, saling melayani dan berbagi. Tiap organ memiliki peran masing-masing, saling melengkapi dan memberikan sinergi untuk menghasilkan keseimbangan secara optimal, dan berkelanjutan. Setiap komponen tidak berpikir dan beraksi hanya demi ‘aku’, tetapi untuk ‘kita’: keseluruhan alam. Demikian halnya Alam, melindungi dan mengayomi bagian-bagiannya secara harmonis. Itulah organis, tidak egois.
Pertanian organik (PO) juga tunduk pada prinsip diatas, pada hukum alam. Segala yang ada di alam adalah berguna dan memiliki fungsi, saling melengkapi, melayani dan menghidupi untuk semua. Dalam alam ada keragaman hayati dan keseimbangan ekologi. Maka, PO pun menghargai keragaman hayati dan keseimbangan ekologi. Berjuta tahun alam membuktikan prinsipnya, tak ada eksploitasi selain optimalisasi pemanfaatan. Demikian halnya PO, tidak untuk memaksimalkan hasil, tidak berlebih; tetapi cukup untuk semua makhluk dan berkesinambungan. Inilah filosofi mendasar PO.
Perkembangan Pertanian Organik       
Praktek pertanian yang menggunakan bibit unggul yang dihasilkan oleh perusahaan benih, bahan-bahan kimia buatan pabrik (agrokimia) —baik untuk pemupukan lahan dan pengendalian hama— awalnya dirasakan dapat meningkatkan hasil produksi pertanian. Namun, setelah beberapa dekade, praktek tersebut menimbulkan permasalahan khususnya terhadap kerusakan ekosistem lahan pertanian dan kesehatan petani itu sendiri.
Penurunan hasil pertanian yang dibarengi dengan meningkatnya daya tahan hama dan penyakit tanaman, disebabkan karena fauna tanah yang bermanfaat bagi tanaman semakin berkurang dan mikroorganisme yang berguna bagi kesuburan tanah pun nyaris hilang akibat pemakaian input agrokimia yang berlebihan. Bahkan, hama dan penyakit tanaman bukannya menurun, tapi justru semakin kebal terhadap bahan-bahan kimia tersebut. Sehingga, petani memerlukan dosis yang lebih tinggi lagi untuk membasminya. Ini artinya, petani tidak saja menebar racun untuk membasmi hama dan penyakit, tetapi juga meracuni dirinya sendiri.
Perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan pertanian, kesehatan dan lingkungan global dalam dasawarsa terakhir ini semakin meningkat. Kepedulian tersebut dilanjutkan dengan usaha-usaha yang konkrit untuk menghasilkan pangan tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya tanah, air, dan udara serta aman bagi kesehatan manusia. Salah satu usaha yang dirintis adalah dengan pengembangan PO yang akrab lingkungan dan menghasilkan pangan yang sehat, bebas dari residu obat-obatan dan zat-zat kimia yang mematikan.
Sebenarnya, PO ini sudah menjadi kearifan/pengetahuan tradisional yang membudaya di kalangan petani di Indonesia. Namun, teknologi pertanian organik ini mulai ditinggalkan oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan agrokimia diterapkan di bidang pertanian. Sejak saat itu, petani menjadi target asupan agrokimia dan tergantung dari pihak luar. Setelah muncul persoalan dampak lingkungan akibat penggunaan bahan kimia di bidang pertanian, teknologi PO yang akrab lingkungan dan menghasilkan pangan yang sehat mulai diperhatikan lagi. (Sutanto, 2002).
PO merupakan pertanian yang selaras dengan alam, menghayati dan menghargai prinsip-prinsip yang bekerja di alam yang telah menghidupi segala mahluk hidup berjuta-juta tahun lamanya. PO merupakan proses budidaya pertanian yang menyelaraskan pada keseimbangan ekologi, keanekaragaman varietas, serta keharmonian dengan iklim dan lingkungan sekitar. Dalam prakteknya, budidaya PO menggunakan semaksimal mungkin bahan-bahan alami yang terdapat di alam sekitarnya, dan tidak menggunakan asupan agrokimia (bahan kimia sintetis untuk pertanian). Lebih jauh, karena PO berusaha ‘meniru’ alam, maka pemakaian benih atau asupan yang mengandung bahan-bahan hasil rekayasa genetika (GMO/Genetically Modified Organism) juga dihindari.
Kerapkali PO hanya dipahami secara teknis bertani yang menolak asupan kimiawi atau sebagai budidaya pertanian yang anti modernisasi atau disamakan dengan pertanian tradisional. Pemahaman ini sungguh kurang tepat. PO bukan sekedar teknik atau metode bertani, melainkan juga cara pandang, sistem nilai, sikap dan keyakinan hidup. PO memandang alam secara menyeluruh, komponennya saling tergantung dan menghidupi, dimana manusia juga adalah bagian di dalamnya. Sistem nilai PO mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum alam. PO juga mengajak petani dan manusia umumnya untuk arif dan kreatif dalam mengelola alam yang tercermin dalam sikap dan keyakinannya. PO juga tidak menolak penggunaan teknologi modern di dalam praktek budidayanya, sejauh teknologi modern tersebut selaras dengan prinsip PO, yaitu keberlanjutan, penghargaan pada alam, keseimbangan ekosistem, keanekaragaman varietas, kemandirian dan kekhasan lokal. Maka, baik kearifan tradisional dan teknologi modern yang tunduk pada prinsip alam, keduanya mendapat tempat dalam PO.
Gerakan PO mencoba menghimpun seluruh usaha petani dan pelaku lain, yang secara serius dan bertanggungjawab menghindarkan asupan dari luar yang meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Mereka juga berusaha menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah dan menggunakan sumberdaya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian.
Budidaya PO, juga mendorong kemandirian dan solidaritas di antara petani sebagai produsen. Mandiri untuk tidak tergantung pada perusahaan-perusahaan besar penyedia pupuk dan bahan agrokimia serta perusahaan bibit. Solidaritas untuk berdaulat dan berorganisasi demi mencapai kesejahteraan, pemenuhan hak dan keadilan sosial bagi petani.
Pertanian Organik
Pertanian Organik adalah sistem produksi pertanian yang menghindari atau sangat membatasi penggunaan pupuk kimia (pabrik), pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh dan aditif pakan.
Budidaya tanaman berwawasan lingkungan adalah suatu budidaya pertanian yang direncanakan dan dilaksanakan dengan memperhatikan sifat-sifat, kondisi dan kelestarijan lingkungan hidup, dengan demikian sumber daya alam dalam lingkungan hidup dapat dimanfaatkan sebaik mungkin sehingga kerusakan dan kemunduran lingkungan dapat dihindarkan dan melestarikan daya guna sumber daya alam dan lingkungan hidup
Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan komparatif antara lain : 1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk mengembangkan sistem pertanian organik, 2) teknologi untuk mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain.
Pengembangan selanjutnya pertanian organik di Indonesia harus ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar global. Oleh sebab itu komoditas-komoditas eksotik seperti sayuran dan perkebunan seperti kopi dan teh yang memiliki potensi ekspor cukup cerah perlu segera dikembangkan. Produk kopi misalnya, Indonesia merupakan pengekspor terbesar kedua setelah Brasil, tetapi di pasar internasional kopi Indonesia tidak memiliki merek dagang.
Pengembangan pertanian organik di Indonesia belum memerlukan struktur kelembagaan baru, karena sistem ini hampir sama halnya dengan pertanian intensif seperti saat ini. Kelembagaan petani seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau korporasi masih sangat relevan. Namun yang paling penting lembaga tani tersebut harus dapat memperkuat posisi tawar petani.
Pertanian Organik Modern
Beberapa tahun terakhir, pertanian organik modern masuk dalam sistem pertanian Indonesia secara sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern berkembang memproduksi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem produksi yang ramah lingkungan. Tetapi secara umum konsep pertanian organik modern belum banyak dikenal dan masih banyak dipertanyakan. Penekanan sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida sintetis. Dengan makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia dan lain-lain, pertanian organik terus berkembang.
Dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida maupun bahan kimia lainnya.
Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik yang tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen. Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:
a)    Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran, maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait.
b)    Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.
Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem pertanian organik di Indonesia antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman rempah dan obat, serta peternakan, (Tabel 2). Menghadapi era perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian organik Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke pasar internasional.